Pada
tahun 1363 pada waktu itu kerajaan yang dipimpin Raja Brawijaya / Prabu Hayam
Wuruk mempunyai 2 orang tumenggung yang pertama Tumenggung Suroditoo yang kedua
adalah Tumenggung Singa Goya. Prabu Brawijaya memanggil Tumenggung Surodito
disuruh babat hutan di lereng Gunung Penanggungan di sebelah selatan untuk
dijadikan taman tempat selirnya Prabu Brawijaya yang namanya Dewi Supriani.
Pada
waktu itu Tumenggung Surodito berangkat di kawal prajurit seperangan, prajuritnya
mensangga diputuk sebelah utara. Mbah Surodito dengan sahabat-sahabatnya, Mbah
Gedhe Padusan, Mbah Agung Pinayungan. Beliau berdua adalah Panglima Perang
Majapahit yang namanya Mbah Tunggul Wulung, Mbah Surodito lantas babat hutan di
jadikan taman namanya Ayu Godah Selerai, langsung taman ayu ditempati oleh
selirnya Prabu Brawijaya yang namanya Dewi Supriani dengan pembantunya Dewi
Rini dan Dewi Supriati.
Kemudian
dia mulai membabat hutan hutan itu dan akhirnya menjadikan desa yang ia
beri nama Taman Ayu. Tetapi takdir berkata lain belum sempat
menikmatinya justru Mbah Surodito pulang ke Rohmatullah. Lantas yang
melanjutkan adalah Mbah Gedhe Padusan. Mbah Gedhe Padusan adalah sosok
yang religius setelah berfikir-fikir lama akhirnya Mbah Gedhe membuat
mushollah dibaratnya sumber mbeji dan beliau juga mengajar masyarkat
sekitar untuk ngaji dan juga membaca Al Qur'an.
Santri-santri
banyak berdatangan dan mulai belajar mengaji. suatu hari yakni hari
Jum’at Legi. Ketika mereka semua sudah berkumpul ia bicara kepada
santri-santrinya “Cung
iki dina malem Jum’at Legi ora usah njaluk piwulang ngaji, sing becik
namung kataman
Qur’an utawa diba’an amergo aku arep ngalor rono nggawe kebon cek bisa
ditanduri”.
Dengan keahlian dan kukuatan yang dimiliki di
tengah malam Mbah Gedhe mengeluarkan karomahnya, ia berada di tengah-tengah kebon yang ingin ia kerjakan. Lantas
yang bekerja malam itu bukan manusia biasa melainkan mahluk bertanduk yang dibernama meluku. Meluku sendiri adalah banteng
perkasa dari kencana seperti weluku, setelah pagi sudah menjadi
leleran yang siap ditanami. Serta sudah menyediakan bibit padi untuk ditanam sudah terpocong-pocong, Mbah
Gedhe paginya merasa bingung.
Namun
ia merasa bingung dan mulai berangan-angan
siapa yang akan menanami sawah ini. Lantas Mbah Gedhe membuat sayembara,
yang isinya “Hai wong Taman Ayu, sapa sing bisa tandur mulai kidul
ngalor
ora nyegek saya upah-upahi hadiah slendang cinde puspita”.
Kemudian berdatangan banyak orang yang ingin mengikuti itu, tak kalah juga Dewi Rini dan Dewi Supriati yang
mengikuti sayembara Mbah Gedhe tadi, seiring berjalannya syambera itu, di tengah-tengah Dewi Rini merasa tidak
kuat lantas keluar dari kedok sawah dan dilanjutkan oleh Dewi Supriati.
Tetapi alangkah
malangnya Dewi Supriati ketika ia nyampek di sebelah utara ia langsung jatuh pingsan tidak
kunjung siuman, dan akhirnya meninggal dunia. Mbah Gedhe berbicara lagi “Hai wong-wong iki
jenazahe Dewi Supriati sarekna kene aku ngidu ora tak dilat maneh Slendang Cinde
Puspita katutna ing Dewi Supriati. Tur mbesuk saksekna kedok iki jenengna kedok
Cinde tur saksekna maneh Desa Taman Ayu tak ganti jeneng dadi Tamiajeng asal
kata Taman menjadi Tami, Ayu menjadi Ajeng langsung setelah tanam.
Cekak
cerita panen yang memotong padi adalah Dewi Rini yang masih hidup yang depan di
potong di belakang menguning akhirnya tiap-tiap hari terus menerus memotong
padi, padinya dibawa pulang dimasukkan lumbung, lumbung sudah penuh.
Lantas
Dewi Rini jenuh akhirnya padinya dibakar, alangkah terkejutnya padi yang
dimasukkan ke lumbung tadi ikut hangus menjadi arang, padi terbakar tadi
asapnya membumbung tinggi dan latu-latu jatuh sampai Desa Padusan pacet,
asapnya memendung di atas.
Mbah
Gedhe berbicara lagi “Hai wong-wong mbesuk yen taman nisore beluk sing
memendung iku gaween dusun Kemendung.” Lantas Dewi Rini tidak pulang ke
Tamiajeng, muksa sak ragane.
Desa
Tamiajeng tadi jadinya pada tahun 1363. Di Utara Desa Tamiajeng ada putuk yang
dibuat mesangrah prajurit Majapahit sering dibuat pertemuan Prajurit Majapahit,
mangkanya putuk itu disebut Balai. Sehingga disebut Gunung Balai, disitu yang
memimpin adalah Mbah Ageng Pinayungan Tunggal Wulung Panglima Perang Majapahit.
Beliau
meninggal dimakamkan di putuk bunung balai yang disebut Mbah Agung Pinayungan.
Disebelah utara lagi ada kedok yang luas yang namanya gelanggangan tempat
prajurit berlatih.
Prediksi Togel HK Mbah Bonar 27 Oktober 2019 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Ratusan Juta Rupiah !!!
BalasHapus